Sunday, June 14, 2009

Ibu dan Anak menjadi pengrajin gerabah lebih dari 20 Tahun.

Yogyakarta, Minggu 14/6/2009. Sinar matahari yang panas menyinari kota Yogyakarta tak membuat semangat layuh. kupacu sepeda motorku membelah jalan-jalan kota Yogyakarta untuk menuju desa pengrajin keramik Kasongan, Bantul. Kurang lebih sekitar 20 Km dari pusat kota Yogyakarta kearah selatan, desa ini berada. Desa ini memang sudah cukup terkenal di Yogyakarta sebagai centra pengrajin gerabah.

Sesampai disana kulihat dua perempuan tampak serius bekerja bergulat dengan tanah liat. Bergegasku turun dari sepeda motor untuk langsung menyapa mereka "Kulonuwun Ibu". Perempuan itu pun menjawab "monggo". setelah beberapa saatku memperkenalkan diri dan memberitahu maksud kedatangaku kesana, baru kuketahui mereka adalah ibu dan anak. Tumilah (40) dan Sriatun (27) adalah seorang pengrajin keramik atau lebih sering dikenal sebagai pengrajin gerabah. Saat itu mereka sedang membuat vas bunga. Pekerjaan ini telah mereka geluti hampir 20 tahun lamanya.

Untuk membuat satu vas bunga dibutuhkan waktu sekitar 3 hari."Satu bulan kulo kalih anakku sanggup nggawe 500 vas bunga" ucap Tumilah. satu vas bunga mereka jual sekitar Rp 2.500. artinya penghasilan mereka kurang lebih 1 bulan Rp 1.250.000. "Ya lumayanlah mas untuk makan kami" lanjutnya.

Dalam membuat vas bunga mereka masih menggunakan alat tradisional dan tungku pembakaran berbahan bakar kayu. Menarik ketika melihat mereka memutar-mutar piringan dengan menggunakan kedua jempol kakinya. Sungguh kekuatan yang luar biasa bagiku memutar piringan dengan menggunakan jempol kaki. Dalam membuat 1 vas bunga paling tidak mereka harus mengerakkan jempol kakinya selama 15 menit. tak bisa kubayangkang kalau aku mencoba membuatnya bisa-bisa jempolku keram heheheh.....



Setelah jadi vas bunga mereka jual ke galeri yang ada dipinggir jalan untuk difinising dan dijual kepada para wisatawan sebesar Rp 7.500/ buah. Dimasa liburan sekolah seperti sekarang ini penjualan kerajinan keramik meningkat kurang lebih 12% dari hari-hari biasa. (Agung Pambudhy)