Sunday, July 6, 2008

Batik Banyumasan, Sebuah Warisan Leluhur yang Harus di Lestarikan.

Nama : Sayiti
Umur : 46 Tahun
Orang tua : Mbah Nami (80 Tahun)
Anak : Dwi Aristati (23 Tahun).
Didit (16 Tahun).
Alamat : JL. Batu Api Rt 01 Rw 08 Desa Pekeringan, Kecamatan Karang Moncol, Kabupaten Purbalingga.

Batik Banyumasan, Sebuah Warisan Leluhur yang Harus di Lestarikan.

Keterampilan membatik maupun gaya batik Banyumasan semakin lama semakin langka karena tergeser perkembangan teknologi industri tekstil. Sementara batik merupakan warisan seni yang adiluhung dan harus dilestarikan (Yayasan Bangun Indonesia).

Pagi yang cerah dan sinar matahari yang hangat menyelimuti Desa Pekeringan, Karang Moncol, Purbalingga ketika Solidaritas tiba. Kala itu waktu menunjukkan pukul 07.30 WIB, Mbah Nami terlihat sudah melakukan pekerjaan membatik yang sudah ditekuninya selama bertahun-tahun silam. Tangan keriput nenek 80 tahun itu seperti tidak kenal lelah, menggoreskan canting (alat melukis batik-Red) segaris-demi segaris diatas kain mori. Perubahan zaman seakan tidak mampu melunturkan kecintaan beliau terhadap batik.
Di pagi itu, anak perempuan sang nenek, Sayiti yang juga berprofesi sama dengan ibunya, mempersilahkan Solidaritas masuk. Dirumah mereka yang sederhana namun asri kami bercengkrama. " Membatik memang sudah tradisi keluarga kami, turun-temurun. tutur Sayiti dengan Bahasa Jawa Banyumasan halus. Sambil mempersilakan kami mencicipi teh hangat dan ubi rebus, Sayiti mulai berkisah.
“ Saya sudah 25 tahun membatik, ibu saya itu malah sudah 65 tahun.” tutur perempuan 46 tahun ini. Setiap hari, ibu dan anak ini memulai pekerjaannya pukul 07.00 WIB dan berakhir hingga senja  menjelang, pukul 17.00 WIB. “Saya membatik sejak umur 15 tahun, diajari ibuku.” tambah Mbah Nami.
Ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebelum melukiskan kain mori perempuan-perempuan ini harus ngateli, yaitu merendam kain mori dengan air kacang semalaman. Esoknya, kain diembunkan satu malam lagi. Lalu kain disiram air panas. Setelahnya kain mori di pukul-pukuli agar lemas.
Kini kain masuk tahap pelukisan. “ Agar goresan canting tidak coreng-moreng, harus dibuat pola terlebih dahulu” jelas Sayiti. Baru setelah itu kain ditorehi goresan tinta dari bahan malam (tinta melukis batik-Red). Butuh ketelitian tinggi pada penggarapan ini. Salah coret bakal sangat berarti bagi rupa batik nanti. Pembatikan awal selesai, kain lantas dicelup warna hitam disebut wedel.
Ups, kerja masih panjang. Usai dicelup, kain harus dilukis lagi agar motif batik menjadi terang bin mengkilat proses ini disebut bironi. Terakhir proses babaran, yakni penyempurnaan warna batik. "Proses wedel dan babaran sekarang ini hanya bisa dilakukan ditempat Pak Slamet di Sokaraja karena dia yang mengetahui ramuan untuk pewarnaannya dengan biayanya Rp 20.000,-per lembar," Jelas Ibu Sayiti sambil menunjukkan proses pembatikan. Baru setelah itu rangkaian perjalanan si kain ditangan pengrajin berakhir. Warna coklat keemasan adalah warna khas batik Banyumas. Ada beberapa motif batik di Tanah Mendoan ini diantaranya adalah naga tapa, kembang goyang, pring sedapur, tambal miring dan sawung galing.
Jika saat melukis kain tiba, tiap hari dua perempuan itu duduk di ’dingklik’ (kursi kecil), mencelupkan canting dan menekuni ruas demi ruas kain dengan tangan kanannya. Butuh dua minggu untuk menyelesaikan satu lembar kain saja. Padahal, rejeki tidak datang seiring kesabaran mereka melukis di atas kain.
Proses kerja yang begitu panjang tidak berarti rejeki lantas datang dengan mudah. Bayangkan, dengan rangkaian yang begitu rumit selembar kain batik hanya dijual pada harga Rp 110.000,- saja. Dalam sebulan, paling banyak seorang pembatik hanya bisa mengantungi Rp 260 ribu. " Tentu saja angka itu tidak cukup membiayai kebutuhan hidup kami," kata Sayiti. Asal tahu saja, Sayiti adalah tulang punggung keluarga ini. Suami tercintanya telah menghadap Tuhan beberapa tahun lalu. Padahal, Sayiti harus menghidupi anaknya serta sang ibu. " Sangat berat, Mas. Kadang saya harus hutang ke tetangga atau ke pengapul batik untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Tapi apa mau dikata, hanya ini yang kami bisa," ungkap Sayiti.
Bertahun-tahun silam, sekitar tahun 70-an, batik tulis Banyumasan menggapai masa kejayaannya. Batik Banyumas kala itu melanglang buana ke seantero negeri. Tidak kalah dengan pamor kakaknya batik Pekalongan dan Jogja yang telah lebih dahulu mendunia. Data Pemerintah Kabupaten Banyumas dan Purbalingga menyebut, kala itu sedikitnya enam ribu pengobeng (sebutan untuk pengrajin batik) hidup dari pekerjaan ini.
Mendung mulai menghampiri hidup para pengobeng ketika batik printing mulai menjalari pasar. Didominasi Pekalongan dan Jogja, batik printing yang harganya jauh lebih murah itu dalam waktu singkat merebut pasar dan mematikan kepulan asap dapur ribuan orang. Penjiplakan motif adalah masalah lain yang mempercepat ambruknya industri ini. Dengan cepat, kisah batik Banyumasan meredup. Pengobeng yang dahulu ribuan, kini tinggal segelintir.
Menjadi pembatik seperti Sayiti memang bukan pilihan pekerjaan yang menjanjikan saat ini. Apalagi bagi ibu yang harus membiayai dua anaknya yang remaja. " Alhamdulillah saya bisa mebiayai sampai mereka lulus SMA. Untungnya anak saya yang besar sudah bekerja," ujar pemenang ke-2 dalam pameran batik di Pendopo Cipto Kusumo Kabupaten Purbalingga tahun 2005 itu.
Uniknya, meski hidup pas-pasan, tetapi kecintaan Sayiti pada batik seperti cinta mati. Demikian pula Mbah Nami. Buktinya, yang membuat gundah dua perempuan ini bukanlah hidupnya yang pas-pasan demi menjaga tradisi, melainkan karena anak-anak mereka yang enggan mewarisi pekerjaan orang tua mereka. " Bocah-bocah seniki mboten gelem mbatik lagi, kulo dadi sedih. Pancen gawean niki mboten nguripi, tapi keluarga kulo sampun turun-temurun, sampun tradisi (Anak-anak sekarang sudah tidak mau mbatik lagi. Memang ini bukan pekerjaan yang bisa menghidupi, tapi keluarga saya sudah turun-temurun melakukannya, sudah tradisi),"ujar Sayiti.
Dalam perkembangannya, belakangngan ini batik Banyumasan kurang dikenal oleh masyarakat awam di Banyumas khususnya dan Indonesia umumnya. Saat ini masyarakat lebih mengenal batik Pekalongan dan Yogya. Khawatir dengan kelestarian batik Banyumasan  Pemerintah Daerah bukannya melupakan potensi ini. Tahun 2003 lalu, melalui Surat Edaran, Bupati Banyumas mewajibkan seluruh pegawai negeri sipil (PNS) Mengenakan batik Banyumasan sebagai seragam kerja. Kebijakan ini lumayan membantu para pengrajin yang ’hidup enggan matipun tak mau’ itu. Harapannya, para PNS yang jumlahnya ribuan di Kabupaten Banyumas lantas bakal jatuh cinta dan ramai-ramai membeli batik made in Banyumas.
Tapi harapan itu tampaknya tinggal mimpi. Soalnya, harga batik tulis tidak bisa dibilang murah untuk ukuran gaji pegawai negeri. Satu helai batik, bisa mencapai Rp 350 ribu. Sudah pasti ini tak terjangkau kantung mereka. Dilematis memang. Diakhir percakapan Sayiti berharap agar pemerintah dapat memberikan pinjaman modal dan membuatkan jaringan pemasaran untuk para pengrajin. Oleh karenanya dibutuhkan peran serta pemerintah dan masyarakat untuk mempopulerkan kembali batik Banyumasan. (Agung Pambudhy)

Mbah Nami nampak serius membatik

Tangan keriput mbah Nami meskipun telah keriput dimakan waktu tapi masih tetap bersemangat menggoreskan canting.


Ibu Sayiti tampak serius membatik.
Ibu Sayiti (kiri), Mbah Nami (tengah) dan Didit (kanan) berpose dengan batik hasil karyanya.